Perhatikan kutipan novel berikut!
Hanya ada satu yang disegani Bapak. Kiai Mursjid. Jangan sebut nama itu di depan Bapak. Nama itu akan jadi pusaran air yang seketika menelan Bapak ke dalam ketakziman.... Dari sana bermula muslihat yang melintas di dalam benakku. Seperti malam-malam sebelumnya, Bapak sudah berangkat ke sawah selepas salat Isya. Aku menunggu Bapak pulang dengan dada berdebar- debar, membayang-bayangkan apakah rencana yang hendak Kujalankan ini akan terlaksana dengan lancar atau tidak. Namun, hingga Ibu membereskan peralatan membatiknya, Bapak belum juga pulang. Ibu sudah menyuruhku segera tidur, tapi ada rencana besar yang memaksa mataku tetap terjaga.
Begitu tergugah, azan Subuh sudah ter-dengar dari arah langgar. Aku langsung duduk bersila di tengah tikar pandan, mengucek-ucek mata agar menajamkan pandangan, mengamat- amati Bapak yang sudah bangun dan bersiap- siap ke langgar.
Inilah waktu yang tepat untuk menjalankan rencana. Dengan suara pelan, aku berkata, "Aku mimpi bertemu Kiai Mursjid ...."
Belum lagi rampung kalimatku, Bapak sudah duduk bersila sambil menekur di depanku, tenggelam dalam ketakziman yang tak terbayangkan olehku. Serta merta keheningan menyelimuti kami berdua.
"Apa pesan Kiai Mursjid, Le?"
"Pesan Kiai, aku harus lanjut sekolah, jawabku dengan suara bergetar.
Bapak menekur, terdiam. Lalu, "Kamu jawab apa?”
Seketika rasa bersalah memilin-milin hatiku. Tidak, aku tidak sedang ingin mempermainkan lelaki pendiam yang kukagumi kesetiaannya ini.
Dikutip dari: Khrisna Pabichara, Sepatu Dahlan, Jakarta, Naura
Books, 2012
Konflik dalam kutipan novel tersebut disebabkan oleh ...